![]() |
| Aktivitas krama dipedesaan gotong royong dalam membuat bebantenan Minggu (2/11/2025) di Bantas, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. |
TABANAN, LIPUTANINFOWARGA.COM - Fenomena beryadnya di Pulau Dewata kian dipermudah dengan kehadiran layanan paket upacara. Cukup menyiapkan anggaran sesuai kemampuan, ritual yadnya dapat terselenggara dengan praktis dan efektif tanpa perlu melibatkan banyak warga banjar.
Namun, kemudahan ini memunculkan kekhawatiran: hilangnya semangat gotong royong dan terkikisnya kesempatan belajar dalam melestarikan adat budaya agama yang selama ini menjadi esensi ritual Hindu di Bali. Di sisi lain, kehidupan pedesaan Bali masih teguh memegang tradisi. Semangat kebersamaan dalam membuat sarana upakara (bebantenan) masih sangat kuat.
Aktivitas ini, yang dikenal sebagai ngayah, bukan sekadar upaya meringankan beban biaya, namun lebih jauh, menjadi wadah pembelajaran yang tak ternilai.
Membuat bebantenan secara gotong royong itu bukan hanya soal hemat biaya. Ini adalah kesempatan bagi generasi muda untuk langsung belajar teknik merangkai, filosofi, dan makna dari setiap sarana upacara. Dibandingkan membeli paket, semangat gotong royong ini adalah pelestarian adat yang sesungguhnya.
Fenomena paket upacara memang menawarkan kepraktisan, terutama bagi masyarakat perkotaan yang disibukkan oleh rutinitas modern, atau mereka yang memiliki keterbatasan waktu dan tenaga. Sistem ini meminimalisasi kerumitan logistik dan persiapan, menjadikan upacara lebih cepat terlaksana.
Namun, di balik efisiensi tersebut, nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, rasa memiliki, dan transfer pengetahuan antar-generasi dalam proses pembuatan upakara mulai tergerus.
Membeli paket memang sah, tetapi pada saat kita membeli paket upakara, kita hanya menyelesaikan kewajiban ritual, tetapi kehilangan kesempatan untuk memupuk solidaritas sosial dan mewariskan keterampilan. Oleh karena itu, prosesi ngayah dan semangat gotong royong yang masih terjaga menjadi benteng pelestarian adat dan budaya Bali. (Tim/Red)

