NEW YORK, LIPUTANINFOWARGA.COM — Wilson Lalengke, seorang aktivis hak asasi manusia dan jurnalis terkemuka dari Indonesia, secara lantang mendesak komunitas internasional untuk segera memulai penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sistemik yang terjadi di kamp-kamp pengungsi Tindouf, Aljazair. Desakan ini disampaikan dalam sebuah pidato yang kuat di hadapan Komite Keempat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Markas Besar PBB, New York, pada Rabu, 08 Oktober 2025.
Pidato Wilson Lalengke, yang mewakili Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menyoroti penderitaan rakyat Sahrawi di bawah kendali Front Polisario di kamp-kamp Tindouf. Isu sentralnya adalah laporan mengenai eksekusi di luar hukum, penahanan sewenang-wenang, dan penyiksaan sistemik yang diduga terjadi di lokasi tersebut. Wilson Lalengke mengajukan petisi resmi yang menuntut tiga tindakan krusial: Investigasi independen yang dipimpin oleh PBB. Pemrosesan hukum terhadap semua pelaku yang terlibat. Perlindungan segera bagi para pengungsi yang tidak berdaya.
Wilson Lalengke, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 dan lulusan Global Ethics dari Birmingham University (Inggris), adalah tokoh kunci yang menyampaikan pidato tersebut. Ia berbicara atas nama organisasi jurnalis warga Indonesia, PPWI. Pidatonya didengar oleh para diplomat, perwakilan masyarakat sipil, dan pengamat media yang menghadiri sidang Komite.
Pidato tersebut muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran global terhadap persoalan geopolitik Sahara Maroko yang tak kunjung selesai dan dampaknya terhadap kemanusiaan. Lalengke menegaskan bahwa penderitaan rakyat Sahrawi yang telah mengalami pengungsian dan pengabaian selama puluhan tahun, diperburuk oleh kebuntuan politik dan terbatasnya akses pengawasan internasional.
Dalam penegasannya, Lalengke menyatakan, “Keheningan suara masyarakat internasional yang menyelimuti penderitaan masyarakat Sahrawi harus diakhiri,” dan menambahkan, “Kita harus memastikan perlindungan mereka yang tidak berdaya.” Ia bahkan menggugat kepedulian global dengan pernyataan keras yang bernuansa HAM, “Diam berarti terlibat membiarkan tragedi kemanusiaan itu terjadi!”
Wilson Lalengke menyampaikan tuntutannya melalui pidato yang lugas dalam sesi Komite Keempat PBB. Setiap petisioner diberi batas waktu tiga menit dan didukung oleh layanan penerjemahan langsung. Selain pidato, ia juga mengajukan petisi resmi yang merinci tuntutan investigasi, penegakan hukum, dan perlindungan. Lalengke menutup pidatonya dengan menekankan penerapan hukum internasional: “Populasi pengungsi di Kamp Tindouf berhak atas keadilan, martabat dan harga diri, serta bebas dari rasa takut.” (*)