![]() |
| Komisi VI DPR RI Mufti Anam. (Foto: Istimewa) |
Intinya, Haikal Hasan menyatakan bahwa berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014, semua produk tadi wajib halal. Puncak penegakannya, 17 Oktober 2026, produk UMKM (usaha mikro dan kecil), terutama makanan, minuman, dan jasa penyembelihan, harus sudah halal. Jika tidak, siap-siap dicap ILEGAL dan diancam dengan sanksi mulai dari surat peringatan, teguran, hingga pencabutan izin usaha. Gila, kan?
Pernyataan koboi ini sontak memicu reaksi keras dari Komisi VI DPR RI. Anggota DPR RI, Mufti Anam, langsung angkat bicara dengan predikat paling pedas yang bisa ia berikan. Dalam keterangannya pada Minggu (12/10/2025), Mufti menegaskan bahwa klaim BPJPH itu "pernyataan yang ngawur dan kebijakan yang sembrono."
Menurut Mufti Anam, pernyataan segegabah itu tidak hanya menunjukkan ketidaksiapan total pemerintah mengelola ekosistem halal, tetapi secara nyata berpotensi membantai jutaan pelaku UMKM yang saat ini saja sudah "berdarah-darah" mempertahankan usahanya di tengah gejolak ekonomi. Kebijakan seperti ini bukan memberdayakan rakyat, tapi menakuti rakyat kecil yang justru paling loyal pada produk dalam negeri," kecam Mufti.
Mufti mempertanyakan kesiapan ekosistem sertifikasi. Apakah prosesnya sudah sederhana, murah, dan bebas pungli? Faktanya, pedagang kecil menjerit karena birokrasi yang rumit dan biaya yang mahal. Bahkan, oknum dan makelar disebut masih bermain di tengah sistem yang dianggap tidak transparan.
Bayangkan saja, pedagang gorengan, penjual bakso keliling, warung nasi Padang—mereka semua tulang punggung ekonomi, dan kini terancam jadi 'ilegal' hanya karena selembar kertas halal.
Kepala BPJPH menyebutkan batas akhir untuk produk UMKM adalah 17 Oktober 2026. Setelah tanggal itu, siap-siaplah para pedagang kecil untuk deg-degan. Ancaman ini paling berbahaya di tingkat pelaku UMKM di seluruh pelosok negeri, dari warung nasi Padang di kota hingga toko kelontong di kampung. Mereka yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat adalah pihak yang paling tertekan oleh kebijakan yang datang bak maklumat dan ancaman ini.
Mufti Anam tidak menampik bahwa halal itu wajib. Namun, ia menekankan bahwa "kebijakan besar seperti ini tidak bisa dijalankan dengan pendekatan maklumat dan ancaman." Sebelum bicara pemaksaan, negara wajib bercermin dan memastikan proses sertifikasi halal sudah siap, kredibel, sederhana, dan murah agar jutaan UMKM bisa taat tanpa harus gulung tikar. Jangan sampai semangat menjamin kualitas malah berakhir dengan "mematikan" rakyat kecil. (*)

