![]() |
Rangkaian tradisi sakral Aci Tabuh Rah Pengangon di Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. (Foto: Istimewa) |
BADUNG, LIPUTANINFOWARGA.COM – Krama Agung Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, kembali melaksanakan tradisi sakral Aci Tabuh Rah Pengangon pada hari Purnama Kapat, yang bertepatan dengan tanggal 6 Oktober 2025. Ritual budaya yang telah berlangsung sejak abad ke-14 ini bertujuan untuk memohon turunnya sumber energi kehidupan dari Dewa Siwa.
Aci Tabuh Rah Pengangon merupakan sebuah persembahan (Aci) yang secara harfiah dimaknai sebagai permohonan agar turun (Tabuh) sumber energi atau kehidupan (Rah) dari Rare Angon, sebutan lain untuk Dewa Siwa (Pengangon).
Menurut Bendesa Adat Kapal, I Ketut Sudarsana, tradisi ini adalah bagian tak terpisahkan dari petunjuk sastra yang diyakini masyarakat setempat. Pelaksanaannya bertujuan memohon sumber energi kehidupan kepada Dewa Siwa, yang dipandang sebagai Sang Pengangon (Penggembala) semesta.
Tradisi ini dilaksanakan bertepatan dengan momen suci Purnama Kapat. Lokasi utama pelaksanaan ritual berada di kawasan Pura Dalem Gelgel, yang lokasinya menyatu dengan Pura Desa dan Puseh Desa Adat Kapal.
Bendesa Adat menjelaskan bahwa pelaksanaan tradisi sakral ini telah dimulai sejak tahun 1338 Masehi di Pura Dalem Gelgel. Hingga tahun 2025, Aci Tabuh Rah Pengangon di Desa Adat Kapal telah dilaksanakan sebanyak 1687 kali, menjadikannya salah satu ritus yang paling berumur dan lestari.
Prosesi ritual diawali dengan persembahan berupa peed (perarakan) dari Pura Kahyangan Jagat Purusada menuju Pura Desa dan Puseh Desa Adat Kapal. Rangkaian dilanjutkan dengan persembahyangan bersama seluruh krama.
Puncak dari Aci Tabuh Rah Pengangon adalah ritual pelemparan sarana upacara di depan Bale Agung. Sarana yang digunakan adalah tipat sirikan dan jajanan bantal yang telah diupacarai. Menurut I Ketut Sudarsana, tipat dan bantal adalah simbol dari Purusa (unsur maskulin/laki-laki) dan Pradana (unsur feminin/wanita).
Tipat dan bantal dilempar ke arah atas oleh masyarakat yang telah terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Purusa (laki-laki) dan kelompok Pradana (wanita). "Pelemparannya sesungguhnya mengikuti gerak parabola dilempar ke atas. Karena saking banyaknya [lemparan], terjadilah pertemuan antara tipat dan bantal," ujar I Ketut Sudarsana. Pertemuan simbolis inilah yang dimaknai sebagai penyatuan dan manifestasi turunnya sumber kehidupan.
Secara sosiologis, pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon memiliki peran penting dalam mempererat nilai-nilai kultur budaya serta mengikat persaudaraan dan semangat kegotongroyongan di antara krama desa. Tradisi ini tidak hanya menjadi ritus keagamaan, tetapi juga momen penguatan ikatan sosial. (*)