![]() |
| Ketua CBD Desa Adat Bantas I Made Sutarjana membantu proses pencairan dana CBD pada Minggu, (23/11) kepada 126 KK dengan alokasi masing-masing Rp2 juta. |
TABANAN, LIPUTANINFOWARGA.COM – Desa Adat Bantas di Tabanan, Bali, sukses menunjukkan model pengelolaan dana hibah yang berkelanjutan, mengubah bantuan Community Based Development (CBD) dari Pemerintah Provinsi Bali menjadi aset produktif milik desa adat atau pelaba desa adat. Program yang dimulai sejak tahun 2007 ini terbukti efektif dalam membantu memberdayakan ekonomi warga.
Sejak diluncurkan pada tahun 2007, dana CBD Desa Adat Bantas telah berevolusi dari modal awal Rp97 juta menjadi total dana kelolaan senilai Rp252.948.000 pada tahun 2025. Dana tersebut disalurkan sebagai pinjaman bergulir tanpa agunan kepada masyarakat dengan bunga rendah, hanya 1% per bulan. Hingga tahun 2025, program ini telah menyentuh 1.731 Kepala Keluarga (KK) di Bantas. Saat ini, setiap KK berhak meminjam hingga Rp2 juta dengan tenor satu tahun. Terakhir, dana telah dicairkan kepada 126 KK dengan alokasi masing-masing Rp2 juta.
Menurut Ketua CBD Desa Adat Bantas, I Made Sutarjana, pengelolaan dana ini dilakukan secara profesional dan transparan oleh Team Pengelola Program (TPP), yang bekerja erat dengan prajuru banjar adat. Bendesa Adat bertanggung jawab penuh atas program ini. Penjelasan disampaikan oleh Sutarjana pada Selasa (23/11/2025) di Wantilan Desa Adat Bantas.
Tujuan utama program ini, sebagaimana diungkapkan Sutarjana, adalah untuk mengembangkan peran desa adat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program pemberdayaan. Selain fokus membantu mengembangkan ekonomi kreatif warga melalui pinjaman, dana CBD juga dapat dialokasikan untuk kepentingan umum dan kegiatan pembangunan di desa. Pengelolaan yang transparan ini menjadikan laba dari dana CBD sebagai laba ketiga desa adat, setelah laba dari tanah dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Untuk menjaga kesinambungan dan kedisiplinan, rapat prajuru desa adat pada 1 Juli 2007 telah menyepakati penerapan sanksi tegas bagi peminjam yang lalai atau menunggak. Sanksi yang diterapkan antara lain pemberian surat pemberitahuan, denda 2% per bulan, pengumuman publik saat pertemuan adat, dan penarikan hak partisipasi atau "arah-arah" dalam upacara adat. Sanksi terberat mencakup larangan meminjam di masa depan serta penerapan sanksi tambahan seperti "tanggung renteng" (tanggung jawab bersama) sesuai peraturan banjar adat. Sebelum pencairan dana dilakukan, proses ini selalu diawali dengan persembahyangan di Pura Kahyangan sebagai bentuk etika adat untuk memohon restu agar dana membawa manfaat. (*)

